top of page
    FOTO UTAMA 1.JPG

    PUSARAN

    OMBANG-AMBING

    PROFESI NELAYAN

    Kesejahteraan Nelayan
    yang Tak Kunjung Datang

    Para nelayan sedang menaruh hasil tangkapannya ke dalam karung untuk diperjual belikan, Sabtu (27/11/2021). (FOTO/Keisya Librani)

    “Nelayan jika dibilang cikal bakal bangsa Indonesia, iya. Kalau dibilang nenek moyang Indonesia, iya. Namun, nelayan malah termasuk masyarakat kelas bawah,” kata Suja'i, seorang mantan nelayan.

    Nelayan merupakan cikal bakal bangsa Indonesia. Kedatangan nelayan di Indonesia merupakan ibarat sebuah permata bagi negara. 

     

    Dengan kekayaan laut yang indah, Indonesia juga merupakan negara maritim dengan wilayah laut yang luas. 

     

    Namun, semakin ke belakang, nelayan justru tidak mendapat kesejahteraan yang layak. Bahkan, berada di dalam pusaran kemiskinan yang nyata. 

     

    “Kita ini hidup di negara yang sudah merdeka, tetapi tidak pernah mendapatkan kemerdekaan yang sebenarnya,” ucap Suja'i. 

     

    Penurunan ini terjadi karena berbagai faktor, mulai dari krisis iklim, kehadiran beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab, hingga minimnya pemberdayaan nelayan dari pemerintah. 

     

    Ibarat kapal yang terombang-ambing di tengah laut, profesi nelayan pun demikian. 

     

    Nelayan hampir terseret arus. Bukan arus laut, melainkan arus waktu yang sudah tidak lagi menjamin tercukupinya taraf hidup. 

     

    Kondisi yang kurang mendukung ini akhirnya mendorong para nelayan untuk perlahan-lahan meninggalkan profesinya sebagai nelayan dan beralih mata pencaharian.

    Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, jumlah nelayan dari tahun 2010 ke 2018 mengalami fluktuasi dan mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2018 ke 2019 sebanyak 203.065 nelayan.  

     

    Lambat laun, minat anak muda untuk berprofesi sebagai nelayan pun memudar. Bahkan, beberapa nelayan pun tidak mendukung anaknya untuk ikut menjadi nelayan karena banyaknya ketidakstabilan.

    FOTO PAK SUSWANTO (BAGIAN AWAL - PENDAPATAN).JPG

    Pendapatan dan Pengeluaran yang Tak Sebanding

    01

    Suswanto, seorang nelayan di wilayah Dadap, Kosambi, saat ditemui

    di kediamannya pada Jumat (26/11/2021). (FOTO/Charina Elliani)

    Suswanto merupakan seorang nelayan asli Cirebon yang sudah menetap di Dadap sejak tahun 1999. Sebelumnya, ia merantau ke sana kemari dengan mengikuti perahu atau kapal milik nelayan lain, tetapi sekarang ia sudah memiliki kapal milik pribadi.

     

    Menjadi seorang nelayan, ia terpaksa berhadapan dengan pendapatan yang tidak stabil. Bila tangkapannya banyak, penghasilannya banyak, juga sebaliknya. 

     

    Suswanto juga melaut sesuai dengan musimnya, jadi tidak melaut setiap hari. 

    FOTO BAGIAN PENDAPATAN.jpg

    Potret Suswanto di atas kapal, tempatnya mencari nafkah sehari-hari, Jumat (26/11/2021). (FOTO/Charina Elliani)

    Biasanya, ia menangkap rajungan dan ikan. Karena sedang berada dalam musim ikan, Suswanto bisa mendapatkan lima hingga sepuluh kilogram ikan dalam sekali perjalanan. Nantinya, ikan tersebut akan dijual dengan harga Rp15.000,00 per kilogram. 

     

    “Penghasilan nelayan per harinya tidak menentu. Kadang bila ada rezeki lebih, satu hari bisa untuk menjadi bekal satu bulan kosong. Jadi, tidak menentu. Kalau diperkirakan, per satu tahun, penghasilan kotor itu tiga puluh jutaan,” ujar Suswanto. 

     

    Dari angka tersebut, dapat diperkirakan bahwa pendapatan Suswanto hanya mencapai 2.5 juta rupiah per bulannya. 

     

    Dengan pendapatan yang cenderung sedikit, Suswanto harus memenuhi berbagai kebutuhan sehari-hari, termasuk keperluan melaut. 

     

    Pengeluaran terbesarnya digunakan untuk membeli bahan bakar solar seharga Rp7.000,00 per liter. Umumnya, Suswanto menghabiskan sekitar lima hingga tujuh liter per harinya. Bila cakupan wilayahnya dekat, ia hanya akan menghabiskan dua liter. Sementara itu, ia bisa menghabiskan hingga 10 liter solar bila perjalanannya jauh, misalnya perjalanan untuk satu hari dan satu malam. 

     

    “Paling berat di solar ini. Kalau lagi dapat [penghasilan], [harga solar] keliatannya kecil. Namun, kalau lagi susah, ya menderita,” jelas Suswanto. 

     

    Selain itu, pengeluaran terbesar lainnya adalah untuk membeli jaring, terutama jaring rajungan yang harus diganti satu minggu sekali. Harga jaring pun bervariasi, dari Rp26.000,00 hingga Rp50.000,00. 

     

    Berbeda dengan jaring rajungan, jaring ikan biasa diganti satu tahun sekali. Hal ini dipengaruhi oleh tangkapan ikan yang bersifat musiman dan tidak mudah rusak karena bahannya yang tebal. 

     

    Tidak hanya itu, nelayan juga harus berhadapan dengan kapal-kapal yang bocor yang kerap kali terjadi karena papan kapal dimakan oleh teritip, semacam kerang yang keras dan tajam. 

     

    Lagi-lagi, nelayan membutuhkan pengeluaran yang lebih. 

     

    Hal baiknya, di Dadap, terdapat “bos langganan” atau “investor” yang membantu para nelayan untuk memberikan modal dan pinjaman. Oleh karena itu, para nelayan juga akan menjual tangkapannya kepada mereka. 

     

    Kondisi ini tentunya sangat membantu nelayan, tetapi di sisi lain juga merugikan karena tangkapannya cenderung dibayar dengan nilai yang rendah. 

     

    “Kemungkinan, kalau ada lelang di sini lebih enak. Disini banyak perahu, banyak nelayan, tapi lelang ga ada,” kata Suswanto. 

     

    Menurutnya, pelelangan ikan dan hasil tangkapan lainnya akan sangat membantu dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan. 

    FOTO HAMBATAN.JPG

    02

    Hambatan yang Tak Kunjung Dibenahi

    Laut perairan Dadap, pada Jumat (26/11/2021), dipenuhi dengan tumpukan sampah. (FOTO/Charina Elliani)

    Berdasarkan data di atas, total produksi nelayan jauh menurun pada tahun 2020. Hal ini tentu dipengaruhi oleh beberapa hambatan. 

     

    Di wilayah Dadap, permasalahan limbah pabrik yang dibuang secara sembarangan sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan laut para nelayan melebihi faktor krisis iklim. 

     

    “Limbah satu kali datang, nelayan dapat menderita selama sebulan,” ujar Suswanto, nelayan asal Dadap. 

     

    Pasalnya, kedatangan limbah ini tidak menentu, dapat datang seminggu sekali maupun sebulan sekali. Para nelayan juga tidak dapat melakukan sesuatu karena sumber limbah tidak dapat diketahui asalnya. 

     

    Kendala limbah ini sudah dibicarakan dengan pemerintah. Beberapa kali pihak pemerintah juga datang untuk melakukan pemeriksaan. Namun, hingga sekarang, belum ada perubahan yang signifikan, limbah masih saja terus datang.

     

    “Beberapa kali orang datang untuk menanyakan masalah limbah, tetapi tetap saja, limbah ini dapat datang lagi di beberapa bulan kemudian,” lanjut Suswanto. 

     

    Kedatangan limbah membuat ikan dan rajungan akan pergi menjauh, mencari wilayah laut yang masih bersih. Di sisi lain, limbah juga dapat merusak ekosistem laut menjadi tercemar. 

     

    “Kalau sudah ada limbah, susah. Ikan dan rajungan, semuanya akan sulit didapatkan,” ucap Suswanto. 

    Di tengah-tengah itu, para nelayan di Dadap juga harus berhadapan dengan para pencuri alat tangkap yang mulai marak terjadi selama satu tahun pandemi. 

     

    “Pencurian ini sedang marak terjadi, hampir setiap bulan,” ujar Suswanto.

     

    Kerugian yang dialami nelayan, bukan dalam jumlah kecil. Bahkan total kerugian mencapai ratusan juta. 

     

    “Total kerugian hampir ratusan juta karena terdapat satu nelayan yang kehilangan seluruh alat tangkap, hingga kapal-kapalnya juga,” ujar Deddy, perwakilan dari KNTI Dadap. 

     

    Para nelayan sudah melakukan laporan kepada polisi untuk menindaklanjuti kasus, tetapi kasus tidak kunjung mendapat titik terang. 

     

    “Sudah lapor polisi, aparat juga sudah datang, tetapi sampai sekarang pelaku belum tertangkap, belum ada titik terang,” ungkap Deddy.  

     

    Pencurian terjadi ketika para nelayan meninggalkan jaring di pagi hari untuk menangkap rajungan. Ketika malam nelayan ingin mengambil hasil tangkapan tersebut, alat tangkap sekaligus dengan kapal milik nelayan tersebut hilang.

     

    Para nelayan curiga bahwa pencurian ini dilakukan secara berkomplot dan dirancang dengan sistematis. 

     

    “Kita merasa pencurian alat tangkap ini berlangsung secara sistematis karena [kejadiannya] bukan tidak sengaja. Seolah-olah sudah disusun dengan rapi. Sepertinya ini sudah menjadi pekerjaan mereka. Apalagi, setiap bulan ada [kasus pencurian], juga terjadi sepanjang tahun,” cerita Deddy. 

     

    Pasalnya, para nelayan pernah membagi tugas untuk melaksanakan ronda. Namun, ketika itu, pencurian tidak akan terjadi. Ketika ronda usai karena dirasa sudah aman, pencurian terjadi lagi. 

     

    “Pencurian ini sulit ditebak, saat kita ronda tidak ada, saat kita menganggap aman, tiba-tiba ada lagi. Jadi, seakan-akan mereka tahu kehadiran kita,” ujar Deddy. 

     

    “Kami yakin bahwa oknum ini bukan hanya satu, tetapi sudah berkomplot dan menjadikan mencuri sebagai mata pencaharian mereka,” tutup Deddy. 

     

    Kenyataannya, upaya telah mereka lakukan sedemikian rupa. Namun, tanpa campur tangan pemerintah, perjuangan mereka akan menjadi sia-sia.

    FOTO KAPAL 1.jpg

    Penurunan Lahan, Wujud Nyata Krisis Iklim

    03

    Salah satu kapal milik nelayan di Dadap, Kosambi,

    pada Jumat (26/11/2021). (FOTO/Charina Elliani)

    Permasalahan krisis iklim tak hanya menghambat hasil tangkap nelayan. Air permukaan laut yang terus meninggi dan lahan yang terus menurun menjadikan banjir sebagai bagian dari keseharian masyarakat Kosambi. 

    Tak hanya Deddy, Suswanto juga mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, banjir semakin tahun semakin sering terjadi, dengan ketinggian air yang juga semakin meninggi. Para nelayan juga terhambat akibat permukaan air laut yang tinggi. 

     

    Sebelumnya, banjir di wilayah Kosambi hanya terjadi pada musim angin barat ketika air pasang. Namun sekarang ini, banjir terjadi hampir setiap hari. Bahkan, pada pagi hari banjir bisa sampai memasuki rumah-rumah warga. 

     

    Akibatnya, warga setempat terpaksa harus selalu meninggikan rumah mereka dengan bantuan papan kayu demi menyelamatkan rumah mereka agar tidak terendam air banjir. Kondisi jalanan sekitar juga menjadi rusak, penuh dengan bebatuan dan lubang yang cukup berbahaya bagi pengguna jalan. 

     

    Tak bisa dimungkiri campur tangan manusia juga menjadi penyebab terjadinya penurunan lahan di wilayah Dadap. Ambisi proyek reklamasi membuat penduduk semakin sengsara. 

     

    “Semenjak ada proyek reklamasi, di sini banjirnya selalu masuk terus,” ujar Suswanto.

     

    Tak tinggal diam, nelayan-nelayan di Dadap sudah beberapa kali melakukan gerakan dalam menyuarakan aspirasi mereka, mempertanyakan kepastian serta kejelasan proyek reklamasi kepada pemerintah. Namun, bukan kepastian yang mereka dapatkan, melainkan surat panggilan pengadilan. 

     

    Ketika ditanya apakah ada upaya dari pemerintah daerah setempat untuk menanggulangi bencana banjir yang terjadi, Suswanto mengaku tak pernah merasakan adanya bantuan dari pemerintah setempat. Ia merasa wilayahnya seringkali dilupakan oleh pemerintah.

    FOTO PROGRAM.JPG

    Program Pemerintah Tak Pernah Sampai ke Tangan Nelayan

    04

    Area pemukiman warga wilayah Dadap, Kosambi, Jumat (26/11/2021). (FOTO/Charina Elliani)

    “Di buku mereka, nelayan selalu menjadi permata. Di meja, mereka berjuang sekeras mungkin. Namun, setelah keluar dari parlemen, di lapangan tidak ada lagi implementasinya sehingga terjadi kesenjangan,” kata Suja'i.

    Tidak adanya sosialisasi membuat program-program pemerintah susah dicapai. Di media, pemerintah menawarkan sejumlah program yang terlihat menjanjikan bagi para nelayan Indonesia.

     

    Program KUSUKA, atau Kartu Pelaku Usaha dan Kelautan dan Perikananan dikatakan membuka banyak peluang bagi nelayan-nelayan ini. Kartu ini memudahkan nelayan dalam pengajuan asuransi dan membuka akses pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR).

     

    Namun, sedikit nelayan yang sudah membuat KUSUKA karena sosialisasi yang buruk ini. Menurut survei oleh KNTI, 72% nelayan mengaku bahwa mereka tidak tahu cara membuat KUSUKA dan kepada siapa mereka harus mengajukan pembuatan kartu ini.

    Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KPP), jumlah nelayan perorangan di seluruh Indonesia yang memiliki KUSUKA tidak mencapai angka yang besar, hanya 923.767 orang nelayan.

     

    Sebelumnya, salah satu rekan Suswanto pernah berusaha ke kantor Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk membuat KUSUKA. Pihak DKP justru tidak mau melayani pendaftaran nelayan Dadap.

     

    “Malah tidak dilayani. Kami tidak mengerti kenapa. Antara programnya tidak sampai ke DKP atau dari DKP memang tidak mau melayani, entahlah alasannya,” jelas Suswanto.

     

    Alhasil, mereka harus dibantu oleh pihak-pihak lain di luar pemerintah, seperti organisasi KNTI, untuk membuat KUSUKA. 

     

    Program BBM Bersubsidi pun tidak dapat diakses. Padahal, sudah menjadi hak nelayan untuk mendapat subsidi bahan bakar solar dari pemerintah untuk menggerakkan kapal. Survei KNTI menyatakan bahwa 82,08% nelayan tidak memiliki akses BBM bersubsidi di daerah mereka. 

     

    Para nelayan sudah berulang kali ke SPBU Dadap untuk mendapatkan BBM, tetapi tidak pernah mendapat kejelasan. Setiap kali ditanyakan, petugas selalu tidak ada di tempat. 

     

    “Kemarin kami datang ke pom bensin, ingin bertanya soal subsidi. Nyari pertugasnya saja sudah sulit. Katanya, petugas sudah pulang. Ketika dihampiri ke rumah petugas tersebut, ternyata tidak ada, katanya masih di pom bensin. Ketika kami balik lagi ke pom bensin, petugasnya lagi-lagi tidak ada. Kami pun meminta nomor telepon petugas tersebut, tetapi penjaga di sana tidak berani memberinya,” cerita Suswanto. 

     

    “Ujung-ujungnya harus ngutang lagi ke warung untuk beli bensin,” lanjutnya. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab ketidakstabilan kesejahteraan nelayan.

    05

    Perjuangan Para Perempuan Pesisir Mengubah Nasib

    Tangan Novi yang cekatan dalam mengupas kerang

    pada Sabtu (20/11/2021). (FOTO/Dimitri Quiny)

    Dengan rendahnya tingkat kesejahteraan nelayan, para ibu rumah tangga nelayan tak bisa tinggal diam dan hanya bergantung dari hasil kerja suaminya. Ambil saja Novi sebagai contoh. Beliau merupakan seorang istri Nelayan yang berdomisili di Kecamatan Ujungpangkah, Kabupaten Gresik.

    Demi membantu menghasilkan pemasukan bagi keluarganya, Novi melakukan kegiatan seperti mengupas kerang dan kepiting. 

     

    “Kalau udah olahan gitu, mahal harganya. Kalau sudah dikupas, per kilo bisa 30 ribu, 25 ribu. Kalau belum dikupas, 1 kilo nya 2 ribu, ada yang 3 ribu,” jelas Novi.

    Wanita-wanita seperti Novi inilah yang disebut sebagai perempuan pesisir. Tidak terbatas pada kedudukan sebagai istri nelayan, perempuan pesisir juga mencakup perempuan nelayan, pengolah dan pemasar produk laut, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mendukung kerja nelayan di lingkungan pesisir. 

    Nilai tukar nelayan (NTN) merupakan alat ukur kesejahteraan nelayan yang menyajikan rasio perbandingan indeks harga yang diterima nelayan (lt) dengan indeks harga yang dibayar nelayan (lb). Bila nilai tukar nelayan sama dengan 100, nelayan berada dalam kondisi “impas”, yaitu ketika seluruh harga pengeluarannya terbayarkan dengan harga pemasukannya. Namun, ketika NTN berada di bawah 100, artinya nelayan mengalami defisit, yaitu sebuah keadaan ketika nelayan mengalami lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan.

     

    Dari data yang tersedia di atas, dapat dilihat bahwa nelayan di Indonesia dapat meloloskan diri dari defisit dengan perbedaan yang sangat tipis, terutama pada tahun 2020 ketika nilai tukar nelayan mengalami penurunan sebanyak 13,5 menjadi 100,2. Dari gambaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendapatan bersih para nelayan pada 2020 hanya sebesar 0,2% dari keseluruhan pengeluarannya. Melihat rendahnya pendapatan para nelayan Indonesia ini, tak heran bila para istri nelayan memutuskan untuk mengambil aksi untuk mencari pendapatan tambahan. 

     

    “Keberadaan perempuan-perempuan pesisir  saat ini masih belum diberikan sorotan dan perhatian secara spesifik oleh negara.” Informasi tersebut dibenarkan keadaannya oleh Anggun, ketua KPPI Gresik.

    KETUA KPPI- IBU ANGGUN.jpg

    Anggun saat ditemui di kediamannya (20/11/2021). (FOTO/Dimitri Quiny)

    “Iya, sementara begitu. Tahun depan sudah munas (musyawarah nasional),” jelas Anggun.

     

    Undang-undang No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam masih memasukkan profesi perempuan pesisir sebagai bagian dari rumah tangga nelayan, padahal seharusnya mereka juga memerlukan perhatian dan jaminan sebagaimana diterima oleh para nelayan laki-laki.

    IMG_7324.JPG

    Jumat (26/11/2021), Suswanto merapikan jaring-jaring yang ada di atas kapalnya. (FOTO/Charina Elliani)

    Nelayan-nelayan di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Kenyataannya, program dan upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan, seperti subsidi BBM dan KUSUKA masih belum dapat dirasakan oleh para nelayan. Padahal, program-program ini seharusnya hadir untuk membantu nelayan. 

     

    Untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, Suswanto sebagai perwakilan nelayan dari Dadap sangat berharap bahwa pemerintah dapat segera menyalurkan subsidi solar secara nyata dengan membangun POM di daerah Dadap. 

     

    Kemudian, ia juga menganjurkan pemerintah untuk langsung menyalurkan bantuan kepada nelayan agar bantuan dapat tepat sasaran dan tidak lagi dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. 

     

    Selain itu, menurut Suswanto, menghadirkan pelelangan bagi nelayan di Dadap dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Pasalnya, saat ini nelayan di Dadap masih harus bergantung kepada para “juragan” yang membeli hasil tangkap mereka dengan harga yang rendah.

     

    Seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang lebih lagi pada nelayan. Bukan hanya membuat berbagai kebijakan atau program, tetapi juga turut meningkatkan sosialisasi, pengawasan, dan kontrol di lapangan untuk memastikan bahwa kebijakan atau program itu memang berjalan. 

     

    Jika segala hal tersebut dijalankan dengan optimal, walaupun secara perlahan, kesejahteraan nelayan dapat meningkat.  

     

    Menanggapi permasalahan kesejahteraan nelayan, Iing Rohimin selaku Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan kajian ilmiah dan melibatkan para nelayan dalam pembuatan kebijakan, memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil tidak hanya menguntungkan pihak tertentu.   

     

    Para nelayan juga berharap pemerintah dapat meningkatkan meningkatkan ketelitian, transparansi, dan kewaspadaan dalam proses pengaplikasiannya. 

    ​

    Solusi dan
    Langkah Nyata

    06

    bottom of page